search

Sabtu, 24 Desember 2011

Asas asesi dan asas pemisahan horizontal apabila dikaitkan dengan Hak tanggungan


Berdasarkan pengertian pada pasal 4 ayat (2) UUPA, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Untuk dapat memiliki hak atas tanah tersebut maka harus terebih dahulu memahami asas asas yang melekat pada tanah dan yang diterapkan dalam UUPA.  Hukum pertanahan di Indonesia menganut asas pemisahan horizontal yaitu asas yang hanya mengakui  hak atas tanah terbatas pada hak atas permukaan bumi saja dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat.
Berbeda dengan asas yang dianut oleh UUPA, KUHPerdata menganut asas asesi yaitu asas perlekatan, baik yang sifatnya perlekatan horisontal maupun perlekatan vertikal, yang menyatakan bahwa benda bergerak yang tertancap atau terpaku pada benda tidak bergerak, berdasarkan asas asesi maka benda-benda yang melekat pada benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya.
KUHPerdata pasal 571
“Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah.”
Kaitan kedua asas yang dianut ini dengan hak tanggungan yaitu ketika kedua hak ini digunakan sebagai jaminan perlunasan hutang atau sebagai jaminan kebendaan hak tanggungan. Yang dijaminkan dalam hak tanggungan adalah tanah atas hak kepemilikannya baik itu sebagai hak milik, hak pakai atau hak guna bangunan atau hak guna usaha.
Kedua asas tersebut diatas dapat dijadikan landasan dasar penerapan hak tanggungan dimana hak tanggungan dapat dijadikan sebagai jaminan terhadap benda tidak bergerak baik berupa tanah, tanah dan bangunan yang melekat padanya atau bangunan yang berdiri atas tanah tersebut terpisah dari dari status hak atas tanahnya. Bangunan yang terpisah dari hak atas tanah yang dapat dijadikan hak tanggungan apabila bangunan tersebut didirikan diatas status tanah hak guna bangunan, hak pakai, hal guna usaha dan hak sewa. Apabila bangunan tersebut didirikan atas hak milik maka bangunan tidak dapat dipisahkan dari tanahnya sebagai jaminan perlunasan hutang.

Bagaimanakah hubungan Hak Tanggungan, Hipotik dan Credirverband? Apakah yang menjadi filosofi dari pengundangan Undang-Undang Hak Tanggungan?


Ketentuan tentang hak tanggungan dalam UUHT merupakan pengganti ketentuan tentang hipotik dan credietverband sejauh tentang tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Penggantian ini selain diamanatkan oleh ketentuan dalam UUPA (Pasal 51) juga untuk mengatasi persoalan tentang pelaksanaan eksekusi hipotik.
Di dalam Penjelasan Umum Nomor 2 UUHT antara lain dikatakan, bahwa ketentuan tentang credietverband dan hipotik berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam UUPA, dimaksudkan berlaku untuk sementara waktu sambil menunggu undang-undang yang dimaksud Pasal 51 UUPA. Ketentuan-ketentuan tersebut jelas tidak sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam Hukum Tanah Nasional, akibatnya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya timbul berbagai perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan Hukum Jaminan atas Tanah, misalnya tentang pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan.
Menurut J Satrio, penyebab kekacauan dan ketidakpuasan dalam hak jaminan atas tanah sebagian besar bukan pada ketentuan Hukum Materiil hipotik/ crediet verband, melainkan pada penafsiran pihak tertentu atas pelaksanaan ketentuan hak jaminan hipotik dan credietverband dan pada pelaksanaannya di pengadilan. Bukan pada ketentuan hipotik/ credietverbandnya yang tidak jelas, tetapi ketika kreditor-pemegang hipotik akan melaksanakan pengambilan pelunasan berdasarkan grosse akta hipotik, menghadapi persoalan apakah yang mempunyai kekuatan eksekutorial itu grosse akta hipotiknya (sesuai dengan Pasal 224 HIR) atau sertifikat hipotiknya sesuai PMA 215/1961. Dalam ketentuan tentang hipotik/ credietverband dan dalam Hukum Acara baik HIR, RBg maupun RV tidak dikenal lembaga “sertifikat hipotik”, apalagi sebagai grosse.

Kamis, 08 Desember 2011

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH PADA SATUAN RUMAH SUSUN

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH PADA SATUAN RUMAH SUSUN

BAB I

A. Latar belakang masalah

Pada saat ini banyak permasalahan rumah susun yang mencuat dipermukaan, hal tersebut dikarenakan tingginya infestasi rumah susun yang tidak dibarengi dengan pengetahuan hukum yang terkait dengan rumah susun di kalangan masyarakat luas. Sebenarnya pengaturan mengenai rumah susun mempunyai perbedaan yang cukup mendasar dengan pembangunan rumah hunian dengan tanah diatas hak milik perorangan (privat).

Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, dengan semakin bertambahnya penduduk kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal pun semakin tinggi, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas, maka pembangunan rumah dibuat bertingkat atau yang kita kenal dengan rumah susun.

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh.



Akan tetapi pembangunan rumah susun yang semakin berkembang ini tidak berbarengan dengan kegiatan pembangunannya oleh investor yang taat hukum, kebanyakan investor hanya mementingkan aspek keuntungan atau bonafit semata bagi perusahaan mereka saja, mereka tidak memperhatikan aspek aspek yang dikemudian hari akan menimbulkan permasalahan bagi konsumen atau penguhuni rumah susun terutama mengenai status kepemilikan hak atas tanah atas pembangunan rumah susun tersebut, sehingga pemilik dikemudian hari untuk melakukan peralihannya mengalami masalah. Maka oleh karena itu penulis menbuat makalah ini untuk memberikan ketegasan kepada pembaca terutama para investor pembangunan rumah susun dan konsumen yang akan membeli dan menempati untuk memperhatikan akan pentingnya status hak atas tanah tempat dibangunnya rumah susun tersebut, apakah telah sesuai dengan ketentuan peruandang-undangan yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari baik bagi investor rumah susun maupun terutama terhadap kepentingan konsumen pembeli rumah susun.

B. Perumusan masalah

Dari latar belakang yang di paparkan di atas maka penulis mengambil bebarapa permasalahan yang akan dibahas yaitu;

1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pembeli satuan rumah susun yang telah memenuhi persyaratan pembelian agar dikemudian hari tidak terjadi kendala dalam peralihan haknya

2. Bagaimanakah cara pengalihan hak dari investor kepada konsumen atsa pembelian satuan rumah susun yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan untuk menemukan hasil dari pokok permasalahan diatas adalah dengan cara penelitian yuridis normative dengan mengumpulkan data dari bahan bahan primer dan sekunder dari buku-buku dan beberapa artikel mengenai rumah susun

BAB II

A. Pembahasan masalah

a.1. Status kepemilikan atas satuan rumah susun

Landasan hukum dari pembangunan rumah susun adalah dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, atau yang sering disebut juga UURS, yang telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun yang telah diundangkan pada tanggal 26 April 1988.

Definisi atau pengertian Rumah Susun menurut pasal 1 ayat (1) UURS berbunyi sebagai berikut :

“Rumah Susun” adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.[1]

Bagian dari sistem rumah susun yang utama bagi pemiliknya adalah Satuan Rumah Susun. Sedangkan pengertian “Satuan Rumah Susun” menurut pasal 1 ayat (2) UURS, mengatakan bahwa “Satuan Rumah Susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum[2]. Karena dapat digunakan secara terpisah, maka syarat dari pada bagian rumah susun yang akan menjadi satuan rumah susun harus mempunyai sarana ke jalan umum agar mudah untuk dijangkau, sehingga pemiliknya dapat leluasa menggunakannya secara individual tanpa mengganggu orang lain.

Pembangunan rumah susun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi rakyat dan meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah yang berpenduduk padat dan luas tanahnya terbatas. Arah kebijaksanaan rumah susun di Indonesia tercantum dalam UURS yang berisi 3 (tiga) hal pokok, yaitu :

1. Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan, dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan tinggi.

2. Konsep pengembangan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru yaitu satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara perseorangan dengan pemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah dan menciptakan badan hukum baru yaitu Perhimpunan Penghuni, yang dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya dapat bertindak keluar dan kedalam atas nama pemilik satuan rumah susun, berwenang mewujudkan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan di rumah susun.

3. Konsep pembangunan ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkannya kredit konstruksi dengan pembebanan hipotik (sekarang Hak Tanggungan) atas tanah.

Penyelenggara pembangunan rumah susun di Indonesia sebagaimana diatur dalam UURS, disebutkan bahwa pembangunan rumah susun dapat diselenggarakan oleh :

1. Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD);

2. Koperasi;

3. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang bergerak dalam bidang

pembangunan perumahan;

4. Swadaya Masyarakat.

Bagi Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang menyelenggarakan pembangunan rumah susun, harus merupakan badan hukum Indonesia, yang bermodal murni nasional atau merupakan usaha petungan dengan modal asing, sesuai ketentuan mengenai penanaman modal asing.

Penyelenggara pembangunan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah di atas mana rumah susun yang bersangkutan dibangun. Karena selain akan menjadi pemilik bangunan gedung yang dibangunnya, ia sejak sebelum rumah susun tersebut dibangun harus sudah menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Perkembangan kebutuhan akan perumahan dan pemukiman bagi masyarakat Indonesia, khususnya di daerah perkotaan bersamaan dengan berkembangnya banyak pembangunan-pembangunan rumah susun. Sehingga kondisi yang demikian, merangsang banyak orang atau pengusaha untuk menjadi pengembang dengan menjalankan usaha sebagai badan usaha pengembang rumah susun dan badan usaha pengembang rumah susun yang terbanyak adalah Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang bergerak dalam bidang pembangunan perumahan dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) atau yang sering di kenal dengan sebutan developer yang tentunya telah memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah di atas mana rumah susun yang bersangkutan akan dibangun.

Mengenai tanah untuk pembangunan rumah susun telah diatur dalam Pasal 7 UURS yang menetapkan bahwa rumah susun hanya dapat dibangun diatas tanah yang berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara atau Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan atas tanah Negara diberikan kepada perusahaan pembangunan perumahan yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah/Pemerintah Daerah.

Tanah yang paling tepat dan sebaiknya digunakan untuk pembangunan rumah susun adalah tanah dengan penguasaan hak atas tanahnya yaitu hak guna bangunan, hal ini disebabkan beberapa hal yaitu;

1. Hak guna bangunan berjangka waktu relative lama

2. Hak bangunan adalah hak yang paling kuat dan dapat digunakan sebagai hak tanggungan, dan merupakan hak yang paling aman

3. Dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan diindonesia baik yang bermodal nasional, maupun yang bermodal campuran asing

Tata cara penyediaan dan pemberian hak atas tanah untuk keperluan perusahaan pembangunan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987. Peraturan tersebut mengatur penyediaan dan perolehan tanah untuk pembangunan perumahan pada umumnya, bukan khusus untuk pembangunan rumah susun,namun peraturan ini dapat juga diterapkan pada pembangunan rumah susun. Secara garis besar, pihak developer pembangunan rumah susun harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin lokasi yang dipilihnya bagi pembangunan rumah susun yang direncanakannya di atas tanah seluas yang diperlukan. Jika permohonan tersebut disetujui oleh pemerintah daerah yang bersangkutan, maka developer yang bersangkutan sekaligus juga diberi izin untuk mengadakan kegiatan memperoleh tanah yang diperlukan. Biasanya tanah yang diperlukan sudah ada yang memiliki, sehingga cara untuk memperolehnya dapat melalui musyawarah dengan pemilik tanahnya dalam bentuk jual beli atau dengan cara pembebasan tanah.

Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, mengenai lokasi yang dipilih oleh Penyelenggara pembangunan rumah susun (developer) diberikan rujukan mengenai beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membangun rumah susun, yaitu :

1. Rumah susun harus dibangun di lokasi yang sesuai dengan peruntukan dan keserasian lingkungan dengan memperhatikan tata ruang dan tata guna tanah yang ada.

2. Rumah susun harus dibangun pada lokasi yang memungkinkan berfungsinya dengan baik saluran-saluran pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan pembuangan air hujan dan jaringan air limbah kota.

3. lokasi rumah susun harus mudah dicapai angkutan yang diperlukan.

4. lokasi rumah susun harus dijangkau oleh pelayanan jaringan air bersih dan listrik

5. Dalam hal lokasi rumah susun belum dapat dijangkau oleh pelayanan jaringan air bersih dan listrik, penyelenggara pembangunan wajib menyediakan secara tersendiri sarana air bersih dan listrik sesuai dengan tingkat keperluannya.

Jadi, pertama-tama perusahaan pembangunan perumahan (developer) yang ingin memperoleh tanah untuk keperluan perusahaan terlebih dahulu harus mempunyai izin lokasi. Namun sebelum mengajukan permohonan izin lokasi, perusahaan yang bersangkutan terlebih dahulu harus mempunyai Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi dari BKPM (PMDN) atau persetujuan dari Presiden (PMA), atau Persetujuan Prinsip dari Departemen Teknis (non PMA/PMDN) yang bersangkutan. Tetapi Persetujuan Prinsip dari Departemen Teknis, dapat digantikan dengan rekomendasi Bupati/Walikotamadya KDH sepanjang Departemen Teknis belum mengaturnya.

Setelah diperolehnya Surat Persetujuan Prinsip, Badan Usaha yang bersangkutan mengajukan permohonan Izin Lokasi yang kelak akan diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II (di DKI Jakarta berlaku ketentuan khusus). Untuk tata cara pengajuan permohonan izin lokasi, harus sesuai dengan yang sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 22 tahun 1993.

Setelah mendapatkan izin lokasi yang diperlukan, maka perusahaan yang bersangkutan melakukan kegiatan pemindahan hak atas tanah yang tata caranya telah diatur dalam PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah disempurnakan dengan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yakni atas dasar persetujuan bersama antara pemilik tanah dan pihak yang memerlukannya, perbuatan hukumnya dilakukan di hadapan PPAT untuk kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, dan yang dalam hal ini pihak yang memerlukan harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah yang berpindah kepadanya. Jika tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak, maka harus digunakan acara pembebasan tanah. Pembebasan tanah oleh pihak swasta pada asasnya harus dilakukan antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi oleh pihak swasta tersebut dengan cara musyawarah yang pelaksanaan pembebasan tanahnya harus diawasi oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif sebagaimana diatur dalam pasal 6 UURS juncto PP No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Dalam penjelasan pasal 6 UURS, persyaratan teknis antara lain mengatur mengenai :

1. ruang;

2. struktur, komponen dan bahan bangunan;

3. kelengkapan rumah susun;

4. satuan rumah susun;

5. bagian dan benda bersama;

6. kepadatan dan tata letak bangunan;

7. prasarana dan fasilitas lingkungan.

Dalam Pasal 29 PP No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun ditetapkan bahwa ketentuan-ketentuan teknis tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Pekerjaan Umum.18 Sedangkan persyaratan administratif yang dimaksud yaitu : izin lokasi (SP3L & SIPPT); advice planning; izin mendirikan bangunan; izin layak huni; sertipikat tanahnya.

Berdasarkan persyaratan administratif tersebut, maka pertama-tama izin yang diperlukan adalah izin mendirikan bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Pada permohonan untuk mengajukan IMB, syarat-syarat yang harus dicantumkan sesuai dengan yang diatur dalam pasal 30 PP No.4 tahun 1988 tentang Rumah Susun yakni :

1. sertifikat hak atas tanah

2. fatwa peruntukan tanah

3. rencana tapak, yaitu rencana tata letak bangunan

4. gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta pertelaannya, yang menunjukkan dengan jelas batasan secara vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun

5. gambar rencana struktur beserta perhitungannya

6. gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama, `benda bersama, dan tanah bersama

7. gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya.

Persyaratan administratif dalam pembangunan rumah susun harus berdasarkan pada perizinan yang diberikan oleh Pemerintah, meliputi perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan (developer) yang menyelenggarakan pembangunan rumah susun yakni berupa akta pendirian perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau dari pejabat yang berwenang bagi badan hukum lainnya, izin lokasi, izin layak huni, serta sertipikat tanahnya.

UURS dan PP No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun telah menetapkan bahwa sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) sebagai alat pembuktian yang kuat, merupakan satu produk dari suatu rangkaian proses perizinan pada sistem rumah susun, yang disediakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dan kepastian hak bagi pemilikan satuan rumah susun.

a. 2. Proses peralihan hak status kepemilikan atas satuan rumah susun

Untuk dapat dialihkan kepemilikannya kepada orang lain yang berminat, maka penyelenggara pembangunan (developer) dapat melaksanakan jual beli yang dilakukan pemindahan haknya dengan akta PPAT dan agar perbuatan hukum pemindahan hak tersebut mengikat kepada pihak ketiga, maka akta PPAT tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat dan dilakukan pencatatan peralihan haknya dalam Buku Tanah dan sertipikat, yang kemudian dilaksanakan perubahan nama pemegang haknya dari penyelenggara pembangunan kepada pemilik yang baru.

Sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan diketahui bahwa satuan rumah susun yang merupakan milik perseorangan dikelola sendiri oleh pemiliknya, sedangkan yang merupakan hak bersama harus digunakan dan dikelola secara bersama karena menyangkut kepentingan dan kehidupan orang banyak. Penggunaan dan pengelolaan milik bersama tersebut harus diatur dan dilakukan oleh suatu perhimpunan penghuni yang diberi weewenang dan tanggung jawab untuk itu.

Perhimpunan penghuni oleh peraturan perundang-undangan diberi kedudukan sebagai badan hukum yang susunan organisasi, hak dan kewajibannya diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, sehingga dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama perhimpunan para pemilik dan penghuni, dan dengan wewenang yang dimilikinya dapat mewujudkan ketertiban dan ketentraman dalam lingkungan rumah susun.

BAB III

A. Kesimpulan

Kepemilkan satuan rumah susun dapat dibangun diatas tanah yang berstautus kepemilikan hak sebagai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara atau Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan atas tanah Negara diberikan kepada perusahaan pembangunan perumahan yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah/Pemerintah Daerah akan tetapi yang lebih baik dan aman digunakan sebaiknya dibangun diatas status kepemilikan atas hak guna bangunan karena HGB berjangka waktu lama, aman, dapat dijadikan jaminan kredit hak tanggungan dan dapat dimiliki perorangan atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.

B. Saran

Ketika ingin melakukan peralihan hak atas atuan rumah susun hendaknya dianjurkan kepada pembeli untuk mengetahui terlebih dahulu mengenai status hak kepemikan atas tanahnya dan pengembang dalam hal ini developer juga hendaknya memberikan penjelasan yg detail mengenai status hukum kepemilikan satuan rumah sehingga tidak menimbulkan keraguan kepada pembeli dan tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari



[1] Indonesia, Undang-Undang tentang Rumah Susun, UU No. 16 tahun 1985, LN No. 7 tahun 1988, TLN No. 3372, Ps. 1 ayat (1).

[2] Indonesia, Ibid., Ps. 1 ayat (2).